Archive for the ‘Vol. 12 No. 3 Sep-Des 2007’ Category
Reforming the Indian Madrassas
Yoginder Sikand *)
*) Penulis adalah intelektual India, dan menulis sejumlah buku tentang Islam dan wacana terkait. Ia adalah editor dan penulis utama Qalandar , sebuah terbitan elektronik bulanan yang mengupas tema hubungan antara kaum muslim dan pengikut agama lainnya. Ia memperoleh gelar Master dalam sosiologi dari Jawaharlal Nehru University di New Delhi, dan Doktor dalam ilmu sejarah dari University of London. Sekarang ia tinggal di Bangalore.
Abstrak:
Madrasah atau sekolah Islam memainkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat Muslim India sekarang ini. Tidak ada angka pasti perihal jumlah madrasah di India, tetapi diperkirakan jumlahnya beberapa ribu buah. Kebanyakan di antaranya adalah sekadar sekolah-masj id (maktab), tempat anak-anak Muslim diajar membaca dan menghapal al-Qur’an, belajar bahasa Urdu, dan dasar -dasar keimanan. Ada juga beberapa madrasah yang besar, yang menjalin aliansi dengan beberapa yang lebih kecil. Sejumlah madrasah ini telah dan senantiasa memberikan pengaruh penting terhadap kaum Muslim di negara-negara lain, khususnya di Asia Selatan. Lalu bagaimanakah reformasi madrasah India, tentang bagaimana kebutuhan akan reformasi diutarakan oleh kaum Muslim di India sekarang ini, baik oleh ulama maupun yang lainnya? Apakah dasar-dasar reformasi ini, dan harus seperti apakah reformasi tersebut berjalan? Lalu benarkah ada kaitan antara sejumlah madrasah di India dengan gerakan Islam radikal?
Kata Kunci: madrasah, India, reformasi, dan gerakan Islam radikal.
Introduction
Madrassas, or Islamic schools, serve an important function in the lives of many Muslims in India today. No reliable figures exist for the number of madrassas in India, but there are estimated to be several thousand.1
Many of them are just mosque schools (maktabs) where Muslim children are taught to read the Quran and memorize parts of it and are also taught Urdu and the basics of the faith. Several large madrassas also exist, with smaller ones loosely affiliated to them. Some of these have exercised, and continue to exercise, an important influence on Muslims in other countries, especially (but not only) among the South Asian diaspora.
This paper deals with the question of reforms in the Indian madrassas, looking at how the demands for reform are being articulated by Muslims in India today, both ulema as well as others. It focuses on the rationale for reform, the forms that these reforms should take and the impact of these suggested measures, concluding with a brief reflection on the debate in India today about the alleged links of some madrassas with outside radical Islamist movements, examining how this debate has impacted efforts to
reform the madrassas.
Read more: 10-reforming-the-indian-madrassas-yoginder-sikand
Dari Teacher-Centered Learning ke Student-Centered Learning
Rahmini Hadi *)
*) Penulis adalah sarjana ekonomi manajemen, staf administrasi di Pusat Sumber Belajar (PSB) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto. Saat ini tengah menempuh pendidikan di Program Magister Sains Ekonomi Manajemen, Program Pascasarjana Universitas Jenderal Soedirman.
Abstract:
Learning system in almost every higher education in Indonesia still one-directional have character, namely lesson giving by lecturer. This learning system known as Teacher Centered Learning (TCL) model, that unfortunately make passive student that only listening lecture so his creativity underdeveloped or even uncreative. Therefore, this system must be change with Students Centered Learning (SCL) learning system model. In SCL learning system, student being demanded active doing
assignment and discussed with lecture as facilitator. If student active, their creativity will develop and grow. This condition will encourage lecturer to advance their knowledge and lesson content, adjusting it
with science and technology improvement.
Keywords: learning system, higher education, Teacher Centered Learning, Students Centered Learning.
Pendahuluan
Apabila kita amati cara-cara seseorang dalam belajar, tampak bahwa terdapat variasi di dalam cara belajarnya. Ada yang belajar sambil berada pada kondisi yang ramai, misalnya mendengarkan musik atau menonton televisi. Sebaliknya, ada yang hanya dapat belajar bila suasana sunyi sehingga suara berisik sedikit saja menjadi gangguan dan membuyarkan konsentrasi. Ada pula yang dapat memahami materi hanya dengan duduk tenang, mendengarkan dosen menjelaskan materi perkuliahan. Namun, ada
cara belajar dengan membaca berulang-ulang sehingga ada yang betah dalam waktu relatif lama membaca buku di perpustakaan. Variasi cara belajar lain adalah mendiskusikan setiap materi yang sedang berusaha dipelajari, yang berimplikasi pada waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan tersebut. Bahkan, ada lagi yang tidak hanya mencatat tetapi mencorat-coret catatannya sedemikian rupa seakan-akan ingin memvisualisasikan pemahamannya.
Baca selengkapnya: 9-dari-teacher-centered-learning-student-centereded-learning-rahmini-hadi
Penggunaan Bahasa Asing dalam Konteks Pendidikan Bahasa di Indonesia
Suwartono *)
*) Penulis adalah Dosen Program Studi Bahasa Inggris, FKIP, Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Abstract:
This paper presents issues on foreign language use in the context of language education in Indonesia. Some people believe that our “old” language(s) would only hinder the acquisition of a “new” one. Whatever the reason it is wrong to leave the language(s) we have already acquired in attempt to acquire a new one. Even, in the case of our national language, Indonesian, we have to preserve it, develop it and, when possible, upgrade its position among the important languages of the world. One way is by using it properly for communication while learning another (foreign) language. Just as any other skills acquisition, the key to success in a foreign language learning is practice. Since foreign language learning environment is in general not conducive to have automatic practices, hard, deliberate efforts are frequently required for compensation. Unfortunately, only few learners do this. Therefore, our discussion is centered around learner strategies. In relation with this, foreign language teacher professionalism is crucial . Classroom activities he/she develops should be able to create setting for
target language intensive use and build learner autonomy – a condition scarcely observed in our language classrooms.
Keywords: foreign language, use, context, and language education.
Pendahuluan
Sejumlah bahasa asing, selain bahasa Inggris, telah diajarkan dan dipelajari di Indonesia dewasa ini, seperti bahasa Jerman, Perancis, Belanda, Spanyol, Jepang, dan yang sudah sangat lama, bahasa Arab, atau yang baru mengalami pertumbuhan pesat bahasa Cina (Mandarin). Di beberapa tempat, bahasa Korea juga tengah diminati. Sebagai bahasa asing, bahasa-bahasa ini umumnya dipelajari di dalam ruang-ruang kelas, baik dalam jalur pendidikan formal melalui lembaga persekolahan dan perguruan tinggi, maupun jalur nonformal seperti kursus dan pelatihan. Barangkali, tidak banyak orang di Indonesia belajar bahasa asing secara informal, yaitu mengembangkan sendiri bahasa asing yang dipelajari di luar ruangan-ruangan kelas. Kondisi pembelajaran seperti ini tentu saja berbeda dengan
kondisi yang dijumpai di lingkungan-lingkungan yang menggunakan bahasa-bahasa tersebut sebagai bahasa kedua atau bahkan bahasa pertama.
Lingkungan yang ideal bagi pemerolehan bahasa adalah wilayah yang masyarakatnya, entah sebagian atau seluruhnya, menggunakan bahasa itu untuk komunikasi sehari-hari. Bukan saja bahasa itu digunakan dalam komunikasi lisan, melainkan sejauh mata memandang, termasuk kultur yang melatari penggunaan bahasa itu juga berperanan dalam penguasaan bahasa. Konkretnya, belajar bahasa Inggris di negara Inggris (sebagai bahasa pertama) atau di Singapura (sebagai bahasa kedua) akan lebih mangkus dan sangkil dibandingkan dengan di Indonesia.
Baca selengkapnya: 8-penggunaan-bahasa-asing-dalam-konteks-pendidikan-bahasa-suwartono
Ngelmu Iku Olehe Kanthi Laku
Kholid Mawardi *)
*) Penulis adalah Magister Humaniora (M.Hum.) alumnus Program Studi Sejarah, Jurusan Humaniora, Pascasarjana UGM. Dia dosen tetap di Jurusan Pendidikan (Tarbiyah) STAIN Purwokerto. Bukunya yang telah terbit, Mazhab Sosial Keagamaan NU (Grafindo bekerjasama dengan STAIN Purwokerto Press, 2006).
Abstract:
From early times, traditional Islamic community accustomed to interpret Islamic teaching with local comprehension. This tradition is a legacy from Walisongo teaching that prudent with local tradition on the beginning of match between Islam and Javanese culture. On education sphere, traditional Islamic community gives more interest to process not
outcome, as apprehension to moralities of classical Islamic education thought. On the process of knowledge searching, a santri have to do specific laku-laku (special practice) as wandering for searching the teacher, loyal (ta’zim), haul (yearly commemoration of someone’s pass away) and ziarah (make a devotional visit to a sacred place), an tabarukkan (ask for blessing). If this practice (laku-laku) done correctly, then the knowledge being gained—even little—will become blessed (barokah) and have benefit.
Keywords: traditional Islamic community, Islamic teaching, laku-laku (special practice).
Pendahuluan
Dalam masyarakat Islam tradisional, menuntut ilmu adalah suatu bentuk pengabdian kepada Tuhan. Segala yang terkait dengan proses mencari ilmu selalu diarahkan kepada tujuan tersebut. Seorang guru yang dikenal dalam komunitas sebagai kiai sangat dimuliakan. Kiai adalah pengemban amanat untuk menyebarluaskan ilmu-ilmu Allah kepada masyarakat banyak. Kiai mempunyai kedudukan tinggi secara sosial karena integritas moral dan karisma yang dimilikinya, selain adanya keyakinan publik bahwa mereka mempunyai kedekatan khusus dengan Tuhan.
Seorang pencari ilmu juga memiliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat Islam tradisional. Pemuda yang berani untuk melanjutkan belajar ke pesantren-pesantren besar yang masyhur dan biasanya berada jauh dari tempat tinggalnya dipandang sebagai orang yang istimewa oleh masyarakat sekitarnya. Kemampuannya untuk berlaku prihatin, jauh dari rumah, menahan kerinduan, melakukan tirakat, dan mempelajari ilmu agama mendapat apresiasi tinggi dari masyarakatnya. Mereka berharap
pemuda itu akan menjadi orang alim yang dapat mengajarkan berbagai kitab dan memimpin masyarakat dalam kegiatan keagamaan.1
Penghargaan terhadap orang yang mencari ilmu (santri) tidak hanya berupa dukungan moral, melainkan juga finansial. Terdapat beberapa kasus pendanaan bagi santri yang melanjutkan pendidikannya di pesantren masyhur yang dibiayai oleh masyarakat kampungnya secara gotong-royong atau mencari mertua yang kaya untuk membiayai pendidikannya di pesantren. Seorang santri yang akan pergi belajar di sebuah pesantren yang jauh, sebelum berangkat biasanya diadakan semacam upacara penghormatan yang meriah. Dalam upacara ini biasanya dihadiri oleh hampir seluruh penduduk kampung.2
Baca selengkapnya: 7-ngelmu-iku-olehe-kanthi-laku-kholid-mawardi
Prospek Statistik Nonparametrik Metode Brown-Mood dalam Pendidikan Tinggi
Mutijah *)
*) Penulis adalah calon dosen di STAIN Purwokerto. Menyelesaikan studi S-1 di IKIP Yogyakarta (Sekarang UNY) Fakultas Pendidikan MIPA Jurusan Pendidikan Matematika, dan S-2 di Fakultas MIPA Jurusan Matematika Universitas Gadjah Mada dengan mengambil konsentrasi studi pada bidang Statistika.
Abstract:
This paper has been used to give insight for the researches or the students of high school about nonparametric statistic and it’s applications at the analysis of simple regression specially to fit the regression l ine and the test of hypotheses. A regression line of estimation Y = a + bX, in nonparametric statistic a and b can be found way of manual with least square method. But in nonparametric statistic can be found way of manual with Brown-Mood method. The test of hypotheses for a and b from population with model of regression equalization Y = a + bX is used Brown-Mood method too. The statistic of test from Brown-Mood method as follow : x2 = with n, n1 , and n2 follow steps from Brown-Mood.
Keywords: nonparametric statistic, regression line, and hypotheses.
Pendahuluan
Seringkali penelitian bertujuan untuk melihat kondisi di waktu yang akan datang dengan suatu dasar keadaan sekarang, atau ingin melihat kondisi di waktu lalu dengan dasar keadaan sekarang. Sifat ini memerlukan prediksi atau taksiran yang sekarang banyak dilakukan di dunia pendidikan. Dewasa ini, melakukan prediksi keadaan siswa untuk waktu yang akan datang merupakan kondisi yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan. Melalui prediksi yang baik, perencanaan pendidikan yang menyangkut kurikulum, metode mengajar, dan fasilitas ruang dan guru dapat direalisasikan seefisien mungkin.1
Analisis regresi merupakan salah satu teknik statistik yang luas penggunaannya dan bermanfaat bagi para peneliti dan pengambil keputusan. Penelitian-penelitian yang dilakukan para peneliti umumnya atau penelitian-penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa di dalam menyusun tugas akhir/skripsi yang menggunakan analisis regresi biasanya memakai statistik parametrik, yaitu dengan metode kuadrat terkecil untuk mencocokkan garis regresi dengan data sampel yang diamati dengan mendasarkan pada kesimpulan-kesimpulan yang menyangkut parameter-parameter populasi dan asumsi-asumsi yang agak kaku. Apabila asumsi-asumsi ini dipenuhi maka prosedur-prosedur kesimpulan parametrik yang sudah lazim paling tepat untuk digunakan. Akan tetapi, jika asumsi-asumsi tersebut dilanggar maka penerapan prosedur kesimpulan parametrik itu akan menyesatkan.
Dari realita di atas makalah ini akan membahas sebuah prosedur nonparametrik metode Brown- Mood yang dapat digunakan sebagai pengganti metode kuadrat terkecil. Metode analisis regresi linier sederhana dari Brown-Mood ini berguna apabila peneliti tidak mau membuat asumsi-asumsi yang diperlukan demi sahihnya penerapan teknik-teknik parametrik yang analog.
Baca selengkapnya: 6-prospek-statistik-nonparametrik-metode-brown-mood-dalam-pendidikan-tinggi-mutijah
Pendidikan Berbasis Cinta
Asef Umar Fakhruddin *)
*) Penulis adalah peneliti pada Centre for Developing Islamic Education (CDIE) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Abstract:
Education with love as its basic will shape and develop children potential. A Child should able to do activity that good and rational. A teacher and parent are just spectators, who suggest correction when something unwise and dangerous happen to children and everyone else. Creativity forming on love based education is direct student to always creative. Therefore, this conception is a criteria that he applying spiritual quotient. Intelligent people spiritually will not solve live problem just rationally or emotionally. But, he will relate it will life meaning spiritually, connect it with spiritual legacy as sacred texts or saint saying to give interpretation to recent situation.
Keywords: spiritual quotient, sacred text, love-based education.
Pendahuluan
Dewasa ini, pendidikan semakin menjadi kebutuhan yang sangat mendesak bagi semua orang. Pendidikan menjadi faktor terpenting dalam mewujudkan pembangunan mental dan spiritual manusia. Tidak hanya itu, dan ini sangat menggembirakan semua pihak, di tempat pelosok sekalipun telah dibangun lembaga-lembaga pendidikan. Meskipun lembaga ini tidak didanai pemerintah pusat, tetapi mereka tetap mampu eksis di tengah masifnya kompetisi dalam dunia pendidikan.
Sudah menjadi perbincangan yang khas apabila pendidikan ditempatkan dalam barisan terdepan sebagai pranata membangun suatu peradaban yang baik dan tangguh. Akan tetapi, sering dilupakan bahwa membangun iklim pendidikan yang mampu melahirkan generasi-generasi yang demikian membutuhkan perangkat yang “canggih” pula.
Sudah menjadi kajian bersama dan juga pemahaman umum pula bahwa pendidikan menjadi faktor terpenting dalam membangun kepribadian manusia. Di samping itu, dengan pendidikan pula sasaran yang ingin dicapai oleh sebuah peradaban akan bisa direalisasikan. Apalagi jika kita mengaca kepada dinamika yang berkembang dewasa ini, ketika semakin masifnya kerusakan datang menyapa, pendidikan menjadi komoditi utama. Pendidikan seakan menjadi sumber primer dan bahkan sebagai makanan pokok.
Dalam terang perkembangan seperti sekarang ini, pendidikan mendapatkan perhatian yang besar. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri, jika pendidikan yang berkembang saat ini juga kerap menanggalkan dan meninggalkan para anak didik dalam kubangan pesimisme. Oleh karena itu, tidak jarang pula kita menyaksikan banyak anak didik yang merasa kesepian di tengah keramaian dan perkembangan zaman seperti yang terjadi sekarang ini.
Baca selengkapnya: 5-pendidikan-berbasis-cinta-asef
Islam dan Mental Kewirausahaan
Subur *)
*) Penulis adalah Magister Agama (M.Ag.), dosen di Jurusan Tarbiyah (Pendidikan) STAIN Purwokerto.
Abstrak:
Pendidikan mental entrepreneurship belum banyak mendapat perhatian masyarakat, meskipun kondisi objektif sebenarnya telah memaksa masyarakat melihat ini sebagai alternatif. Islam adalah agama kerja karena relevan dengan entrepreneurship ini. Islam banyak menjelaskan tentang kerja keras dan dalam sejarah umat Islam dan banyak bersentuhan dengan kegiatan berdagang. Oleh karena itu, sebenarnya Islam sangat konsen dan apresiatif terhadap aktivitas berdagang yang merupakan jiwa entrepreneurship. Hal yang penting adalah praktisi pendidikan harus memberikan ruang yang kondusif pada masyarakat agar jiwa/mental entrepreneurship dapat tumbuh dan berkembang menjadi bagian penting dalam hidupnya dan dapat menjadi pilihan dalam beraktivitas. Mengingat karakteristik dalam entrepreneurship adalah bekerja dengan sungguh-sungguh, maka di samping melakukan upaya yang bersifat kerja nyata juga tidak kalah penting, menurut logika orang beragama untuk memperhatikan hal yang bersifat non teknis; meningkatkan kualitas spiritual adalah upaya yang sangat penting dilakukan.
Keyword : Entrepreneurship, Pendidikan kewirausahaan, mental kewirausahaan
Pendahuluan
Pendidikan kewirausahaan (entrepreneurship) di Indonesia masih kurang memperoleh perhatian yang cukup memadai, baik oleh dunia pendidikan, masyarakat, maupun pemerintah. Banyak praktisi pendidikan yang kurang memperhatikan aspek-aspek penumbuhan mental, sikap, dan prilaku kewirausahaan peserta didik, baik di sekolah kejuruan maupun professional sekalipun. Orientasi mereka, pada umumnya, hanya pada upaya-upaya menyiapkan tenaga kerja yang siap pakai. Sementara itu, dalam masyarakat sendiri telah berkembang lama kultur feodal (priyayi) yang diwariskan oleh penjajahan Belanda1.
Sebagian besar anggota masyarakat memiliki persepsi dan harapan bahwa output dari lembaga pendidikan dapat menjadi pekerja (karyawan, administrator atau pegawai) oleh karena dalam pandangan mereka bahwa pekerja (terutama pegawai negeri) adalah priyayi yang memiliki status sosial cukup tinggi dan disegani oleh masyarakat.2
Baca selengkapnya: 4-islam-dan-mental-kewirausahaan-subur
Reformasi Sistem Pendidikan Islam di Indonesia
Siswadi *)
*) Penulis adalah Magister Agama (M.Ag.), dosen di Jurusan Tarbiyah (Pendidikan) STAIN Purwokerto.
Abstract:
Islam education reformation is an absolute demand. Everyone effort, especially teacher, lecturer, politician, stakeholder, state, or private sector surely bring positive impact to education, include Islamic education. However, education system implemented today, in school or ex-scroll, remain contain weakness and deterioration. This paradigm triggers the rise of Islam education reforms spirit. This article show how Indonesian education figure see Islamic education condition in Indonesia. Meanwhile, by and large we would about reforms Islamic education effort that more constructive ad relevant with change and development on this globalisation and industrialisation era.
Keywords: Reforms and Islamic education.
Pendahuluan
Tahun 1998 merupakan titik awal munculnya reformasi pendidikan di Indonesia. Bersamaan dengan tahun ini pula, krisis ekonomi, sosial, dan politik melanda masyarakat dan bangsa Indonesia ini. Krisis ini menuntut adanya usaha keras untuk memperbaiki atau untuk mencapai keadaan kehidupan yang lebih baik, kita mengenalnya dengan istilah reformasi.
Emil Salim menekankan arti reformasi untuk perubahan dengan melihat keperluan masa depan. Din Syamsudin sebagaimana dikutip H.A.R. Tilaar menekankan kepada kembali dalam bentuk asal.1 Dalam hal ini, jelaslah bahwa reformasi merupakan suatu usaha pembaharuan menyeluruh dari suatu sistem kehidupan dalam aspek-aspek politik, ekonomi, hukum juga termasuk pendidikan, khususnya pendidikan Islam.
Sejak awal abad ke-20, masyarakat Muslim di Indonesia telah melakukan reformasi (pembaharuan). Reformasi ini dirintis oleh tokoh pelopor pembaharu pendidikan Islam Minangkabau, seperti Syekh Abdullah Ahmad, Zainudin Labai El-Yunus dan lain-lain, juga dalam bentuk organisasi-organisasi Islam seperti Jamiat Khair, Al-Irsyad, Persyarikatan Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam (PERSIS), dan Nahdatul Ulama di daerah lain.2 Akan tetapi, perubahan itu memiliki motivasi yang betul-betul pragmatis, yaitu bagaimana mengimbangi pendidikan umum yang berkembang pesat yang semata-mata diorientasikan pada pemenuhan kebutuhan kolonialisme.3
Baca selengkapnya: 3-reformasi-sistem-pendidikan-islam-di-indonesia-siswadi
Urgensi Pendidikan dalam Budaya Politik
Luthfiyah *)
*) Penulis menyelesaikan Program Magister, Konsentrasi Pemikiran Pendidikan Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang sedang menempuh Program Doktor pada tempat yang sama.
Abstract:
The crisis of nation is caused by the crisis of inner self and moral degradations, that politic which must be oriented to safety people, but show emphasizing to individual or group orientation finally the politic, which must have service character precisely dominated and patronage character. So, it is significant to develop cognition, affection, and psicomotoric componens on a simultant scale through education. However education has antisipatoris and preparatoris characters. The identification of democaration values and provide a model through civic education will be concrete the fundamental function of education in effort to create the humanis people and shaped unresistant education to reality. So, education can cange political culture.
Keywords: education, political culture, moral values.
Pendahuluan
Indonesia baru yang dicita-citakan banyak orang adalah masyarakat baru yang disebut civil society. Hal ini berarti kekuasaan berada di tangan rakyat, ditentukan oleh rakyat, dan untuk rakyat. Rakyat tidak lagi menjadi objek, tetapi sebagai subjek pelaku kekuasaan. Masyarakat madani hanya dapat terwujud jika masyarakat memperoleh pendidikan yang memadai sehingga masyarakat dapat memahami perannya dalam proses perubahan sosial secara kreatif-konstruktif untuk mencari bentuk-bentuk sintetik baru secara tulus, damai sekaligus mencerahkan.1
Oleh karena itu, pemerintah seharusnya dapat meningkatkan komitmennya untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, menegakkan hukum tanpa pandang bulu, dan berpihak pada proses pemberdayaan rakyat dengan memprioritaskan pada bidang pendidikan. Kesejahteraan rakyat seharusnya diartikan dengan semakin meningkatnya kualitas sumber daya manusia yang terdidik agar mampu meningkatkan penghasilannya secara benar, mandiri, dan kreatif. Ukuran kesejahteraan rakyat harus menyertakan indikator menguatnya etika sosial, kualitas partisipasi rakyat dalam politik, kreativitas budaya, dan komitmen moralitas keagamaan dan kemanusiaan universal, tidak semata mata menggunakan indikator ekonomi,2 meskipun ekonomi menjadi salah satu indikator di dalamnya.
Baca selengkapnya: 2-urgensi-pendidikan-dalam-budaya-politik-lutfiyah
Pendidikan Nilai dalam Era Pluralitas
Ruslan Ibrahim *)
*) Penulis adalah alumni Jurusan Tarbiyah STAIN (sekarang IAIN Mataram). Menyelesaikan Program Magister Konsentrasi Pemikiran Pendidikan Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan pada tempat yang sama, sekarang sedang menempuh Program Doktor Konsentrasi Studi Islam.
Abstract:
Values education is activity which help students in order that they have instruction which determine all of their actions. Values education is considered urgent in education activity. It is purposed to build social solidarity, especially in religion and cultural plurality era. The reality of social, religion, and cultural conflict, showed education functions as transfer of moral values still optimal yet. Therefore, values education include moral training must be aplicated to help students be up against social problems in their life.
Keywords: values education, plurality, moral training, social solidarity.
Pendahuluan
Hubungan antara nilai dengan pendidikan sangat erat. Nilai dilibatkan dalam setiap tindakan pendidikan, baik dalam memilih maupun dalam memutuskan setiap hal untuk kebutuhan belajar. Melalui persepsi nilai, pendidik dapat mengevaluasi peserta didik. Demikian pula peserta didik dapat mengukur kadar nilai yang disajikan pendidik dalam proses pembelajaran. Masyarakat juga dapat merujuk sejumlah nilai (benar-salah, baik-buruk, indah-tidak indah) ketika mereka mempertimbangkan kelayakan pendidikan yang dialami anaknya.
Lembaga pendidikan memiliki tugas mempersiapkan terbentuknya individu-individu yang cerdas dan berakhlak mulia. Terpenuhinya kedua kriteria itu memungkinkan terwujudnya nilai kehidupan sosial yang ideal, yang memiliki semangat kebersamaan, menghindari konflik sosial, mengembangkan potensi diri, dan memanfaatkannya untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin, serta keselamatan umat manusia pada umumnya.1
Hal tersebut menunjukkan bahwa peran pendidikan dalam pembentukan dan penanaman nilai terhadap peserta didik sangat menentukan kehidupan mereka. Tanpa pendidikan, nilai sangat sulit untuk ditemukan atau didapatkan. Oleh karena itu, fungsi pendidikan adalah untuk menanamkan nilai-nilai (yang baik) kepada peserta didik (bukan hanya transfer pengetahuan) sebagaimana yang popular selama ini. Pengetahuan tanpa memahami nilai cenderung melahirkan konflik, baik antar-kelompok agama, budaya, wilayah, maupun antar-institusi.2
Baca selengkapnya:1-pendidikan-nilai-dalam-era-pluralitas-ruslan-ibrahim